PASAMAN BARAT, - - Sabtu, 11 Juni 2022, jam 05.00, subuh. Pagi itu, ia, istri dan anak-anaknya tersentak. Bangun karena mendengar pintu digedor. Suara gedoran yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Menimbulkan kecemasan, seperti gedoran ingin membunuh seisi rumah.
Terlintas ingatannya pada cerita gurunya sewaktu ia masih SD tentang peristiwa subuh di rumah Jenderal Ahmad Yani, 30 September 1965, ya, peristiwa enam pupuh tujuh tahun yang lalu. Selintas terpikir olehnya, apakah dia akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami Jenderal Ahmad Yani ?
"Tapi tidak mungkin", pikirnya.
Sedikit lega emosinya mendengar pengakuan, mereka dari Pertamina, ada yang ingin mereka bicarakan. Tapi kerasnya gedoran, spontanitas, muncul perasaan ingin melindungi anak dan istrinya, Mustafa berinisiatif menghampiri pintu dengan sedikit emosi, khawatiran dalam siap membela diri. Mencoba melihat keluar dari sela-sela gorden. Ada polisi. "Ada apa ini ?", pikirnya.
Pintu dia buka. Sebelum ia sempat bertanya, Pak Polisi langsung bertanya dengan suara keras, apakah dia yang bernama Mustafa. Mustafa jawab, "Iya !" Lalu, dipegang, dan borgolpun bicara.
Melihat suaminya diborgol, istri Mustafa histeris dan berontak. Anaknya sok tak sadarkan diri. Tetangga terbangun berhamburan melihat apa yang terjadi. Tak ketinggalan, mertuanya yang tak jauh dari rumah Mustafa, datang tergopoh-gopoh. Setelah mengetahui Mustafa ditangkap polisi, mertua perempuannya pun jatuh pinsan.
Gaduh ! Teriakan histeris sahut bersahut. Tetapi tidak satupun yang melakukan perlawanan terhadap polisi dengan kata kasar, apalagi tindakan kekerasan, - - semuanya takut seperti "budak rakyat" terjajah kepada Tuan Belandanya dizaman penjajahan. Sebahagian tetangga mengurus anak dan mertuanya yang pinsan.
Melihat Mustafa ditangkap tanpa mereka mengerti apa sebabnya: istri dan anaknya yang masih sadar, mertua laki-lakinya dan kaum familinya, tetangga dan sahabat yang berada disekelilingnya hanya melawan dengan pekik histeris dan derai air mata sambil berdoa dalam hati, "Ya Allah, Engkau maha adil, kami berharap sangat keadilanMu".
Mereka memandang Mustafa pergi digiring polisi dalam keadaan tangan diborgol. Memandang heran dalam hati pilu.
Mustafa dibentak agar cepat berjalan menuju mobil polisi. Sambil berjalan, ia bertanya, mengapa dia ditangkap. Ada suara yang menjawab, yang dia yakin berasal dari salah seorang polisi yang menangkapnya." Kamu membakar alat berat Pudun !", jawab suara tersebut.
Tak sampai 20 menit setelah tangannya diborgol, dia telah didudukkan polisi di atas mobil. Melaju menuju Lubuk Sikaping.
Sepanjang jalan dari Sarik Selatan, Nagari Luhak Nan Duo, kecamatan Luhak Nan Duo sampai ke Lubuk Sikaping, pikiran Mustafa berkecamuk. Bolak-balik. Muncul bayangan derita bathin anak dan istrinya. Muncul kecemasan, apa ongkos anaknya kesekolah besoknya, karena hari itu dan entah berapa hari, dia tidak dapat mencari nafkah lagi.
Sekejap kemudian, muncul lagi pertanyaan: mengapa dia ditangkap, diperlakukan seperti teroris, seperti pembunuh "Kalau soal escavator tambang illegal Pudun yang terbakar dalam kawasan hutan lindung, itu terjadi, sudah lebih empat bulan yang lalu. Lantas, apa yang mengarahkan polisi menuduh dan menangkap saya ?", pikir Mustafa lagi.
"Kalau Pudun dan kawan-kawan menuduhnya waktu membuat laporan polisi, apa bukti dan siapa yang mengaku melihat saya ? Sedangkan informasi yang berkembang di Sinuangon, mereka yang mengoperasikan escavator tersebut, tidak tahu kapan terbakarnya. Mereka menemukan escavator sudah terbakar. Api sudah lama padam", ucap Mustafa pada dirinya sendiri.
Apa dibalik ini semua, menjadi pikiran Mustafa. Tetapi tak pernah ada jawab dalam pikirannya sampai dia didudukkan di ruangan pemeriksaan di Mapolres Pasaman.
Interogasi !
"Saya diperiksa, dipaksa mengaku membakar escavator Pudun", lirih suara Mustafa meneruskan ceritanya.
Tidak ada barang bukti berupa apapun yang diperlihatkan padanya. Tidak ada benda apapun yang dihubungkan dengannya dan dikaitkan dengan kebakaran escavator tersebut.Tidak ada surat berbentuk dan berbunyi apapun yang dihubungkan dengan dirinya sebagai pelaku dalam kasus tersebut. Tidak ada keterangan ahli apapun yang mengarahkan pelaku pembakaran alat berat Pudun padanya. Bahkan, tidak ada hasil pemeriksaan polisi atau forensik yang menunjukkan bahwa escavator Pudun tersebut terbakar karena dibakar. "Namun saya dipaksa dengan berbagai tindak kekerasan untuk mengaku", lirih Mustafa, air matanya mulai berlinang.
"Tuhan menolong saya", Mustafa meneruskan ceritanya. Bagaimanapun tindakan pemaksaan padanya, tetapi hatinya pekat untuk tidak mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya. "Biar mati !", katanya dengan suara tinggi.
Terpikir olehnya, apakah ada saksi-saksi yang memfitnahnya. Tapi dalam pikiran Musrafa muncul, "Mereka orang-orang yang bertuhan, kenal baik dengan saya, ada hubungan kefamilian dengan saya, apakah mereka tidak punya hati-nurani lagi ? Tidak mungkin !", pikirnya.
"Logisnya, kalalulah mereka adalah saksi yang melihat atau saksi yang mendengar, tentu sudah ditindaklanjuti empat bulan yang lalu, segera setelah ada laporan polisi", mucul lagi alur logika dalam pikirannya.
Semakin dalam dia berpikir, dia semakin heran, mengapa dia ditangkap dengan tuduhan membakar alat berat Pudun dkk.
Pada akhirnya, muncul dugaan dalam pikirannya: dituduh karena melampiaskan dendam, bukan karena adanya alat bukti yang cukup dan kuat.
Mustafa adalah penentang kesemena-menaan Pudun dkk menggunakan alat berat melakukan penambangan emas secara illegal di kampunynya di Sinuangon. Mustafa juga tak lupa memperjelas, bahwa tempat tinggalnya di Sarik Selatan adalah tempatnya hijrah puluhan tahun yang lalu, bukan tempat kelahiran dan dibesarkan.
"Hari masih pagi sampai di Polres Pasaman, sorenya pemeriksaan saya telah selesai, telah dinyatakan saya lepas karena tidak cukup bukti", terang Mustafa dengan suara yang stabil. Seperti lepas dari beban perasaan yang tergenang selama ini. Seperti lepas setelah bercerita dengan Jurnal Nasional.co.id, sekitar satu bulan lalu.
Baca juga:
TNI AL Tangkap 8 Kapal Pencuri Batu Bara
|
Tapi muncul lagi pertanyaan dalam pikiran Mustafa. Walaupun pemeriksaannya telah selesai dan dinyatakan lepas, dia belum boleh pulang, karena Pudun belum datang ke Mapolres.
Akhirnya dia menginap di Mapolres Pasaman seperti tahanan lain, menunggu Pudun datang besoknya.
"Kenapa harus menunggu Pudun ?" muncul lagi pertanyaan dalam pikirannya.
Mendengar cerita Mustafa, seorang tetangga Mustafa yang ikut nimbrung dalam perbincangan, bertanya pada Jurnal Nasional.co.id, "Ada apa hubungan istimewa antara Pudun dengan oknum Polres Pasaman, sehingga Mustafa diperlakukan tak manusiawi ?"
Jurnal Nasional.co.id, balik bertanya, Munurutmu ?
"Kadang pikiran kita, dipengaruhi cerita Sambo juga", jawabnya.