PASAMAN BARAT, - Denrika Saputra, SH menilai penangkapan Mustafa adalah kesewenang-wenangan. Melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melanggar Peraturan Kapolri dan melanggar Hak Asasi Manusia.
Hal tersebut disampaikan Denrika, Kamis (15/9), di Lubuk Sikaping, setelah mendampingi Mustafa memenuhi panggilan Propam Polres Pasaman pada Rabu (14/9) sebagai kuasa hukum.
Sebelumnya dijelaskan Mustafa, ia ditangkap oleh Satreskrim Polres Pasaman (11 Juni 2022) dini hari, di rumahnya, di Jorong Sarik Selatan, Nagari Luhak Nan Duo, kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, wilayah yurisdiksi Polres Pasaman Barat.
Ditangkap atas tuduhan sebagai pelaku pembakaran alat berat jenis escavator milik Firdam Idrus alias Pudun dkk. Firdam Idrus dkk melaporkan Mustafa sebagai terduga pelaku, tidak lama setelah escavator tersebut terbakar.
Escavator tersebut terbakar di areal kawasan hutan lindung yang terletak antara Sinuangon dengan Batangkundur, termasuk dalam daerah administrasi Nagari Cubadak, kecamatan Dua Koto, kabupaten Pasaman, provinsi Sumatera Barat. Terbakar pada akhir Februari 2022.
" Antara escavotor milik Firdam Idrus dkk tersebut terbakar dengan waktu penangkapan saya, ada sekitar 4 (empat) bulan. Selama empat bulan tersebut, saya tetap bolak-balik jualan ke Sinuangon sebagaimana sebelumnya, tidak tahu bahwa saya dalam status terlapor", ucap Mustafa.
Dijelaskannya juga, bahwa dia yakin, Firdam Idrus dkk sadar tidak punya bukti apapun yang sah secara hukum untuk menuduh dan melaporkannya. Bahkan tidak satupun yang dapat memastikan, apakah escavatornya tersebut terbakar karena sengaja dibakar atau terbakar oleh sebab lain. Makanya, menurut Mustafa, Firdam Idrus dkk telah melakukan laporan palsu.
Dikatakan Mustafa, kuat dugaannya, dia dituduh atas dasar dendam, bukan atas dasar bukti.
"Karena saya penentang terdepan terhadap penambangan emas secara illegal dengan menggunakan alat berat di Sinuangon, kampung saya dilahirkan dan dibesarkan", tegas Mustafa. "Saya berencana melaporkan Firdam Idrus dkk melakukan tindak pidana laporan palsu", sambungnya.
Disamping itu, menurut Denrika Saputra, SH, Kuasa Hukum Mustafa, penanganan laporan Firdam Idrus dkk, sangat terang tidak standar KUHAP dan Peraturan Kapolri. Harusnya lidik dulu.
Tujuan lidik adalah untuk menentukan adanya tindak pidana atau tidak. Harus dipastilan dulu, apakah escavator milik Firdam Idrus dkk terbakar karena dibakar oleh seseorang. Karena bisa dan banyak kejadian, escavator terbakar sendiri karena hubungan pendek listrik, disambar petir, dan lain-lain. Sama seperti kasus rumah terbakar.
Jika berdasarkan petunjuk yang cukup sudah didapat kesimpulan yang menunjukkan escavator tersebut terbakar karena dibakar, barulah naik status sidik. Terbitlah sprindik sebagai dasar hukum sahnya dilaksanakan penyidikan untuk mencari siapa pelakunya.
"Mustafa ditangkap sebelum terbit Sprindik. Serta-merta saja Mustafa ditangkap", terang Denrika Saputra, SH, ketua LBH Garuda Sakti, Pasaman Barat.
Dijelaskan lagi oleh Denrika Saputra, bahwa menurut Pasal 17 KUHAP, penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pengertian "bukti permulaan yang cukup" tidaklah sembrono seenak penyidik saja. Sudah dipatok oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/ PUU - XII/ 2014, bahwa "bukti permulaan yang cukup" mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila dipahami, setidaknya mempunyai dua alat bukti yang meyakinkan.
Sedangkan kepastian escavator tersebut terbakar karena dibakar saja, tidak ada. Saksi yang melihat Mustafa membakar, tidak ada. Orang yang mendengar pengakuan Mustafa bahwa dia membakar escavator Firdam Idrus dkk tidak ada. "Apakah penangkapan Mustafa bukan kesewenang-wenangan ?", tanyanya dengan suara agak meninggi.
"Maka kami berencana akan menyurati Komnas HAM, Kompolnas, Bapak Kapolri, Kemenkumham, BPSK, seta Komisi III DPR RI", terangnya lagi.
Diterangkan lagi oleh Eka Garuda ( nama populernya dikalangan masyarakat Pasaman Barat ), dia akan biayai semua keperluan penyelesaian yang adil dari kasus Mustafa ini, dan gratis memberikan bantuan hukum. Karena sangat memprihatinkan. Setelah mendapat perlakuan tidak manusiawi, empat bulan Mustafa mencari keadilan atas kejadian yang menimpanya, tetapi sepertinya disia-siakan.
"Ini panggilan hati nurani", ucapnya mengakhiri perbincangan.***